AKU, DIA, DAN “TUHAN 9 SENTI”

Tepat 6 tahun ke’pulang’an Abah (M.Ridwansyah, M.Pd, ayah angkat saya). Masih teringat jelas kenangan saat saya menggebrak meja Kepala Sekolah dan hampir di-Drop Out. Saat seisi sekolah menjadi musuh, hanya Abah yang berani bicara untuk saya.. Sementara yang lain hanya berani mendukung dengan bisikan, bahkan mencaci saya terang-terangan.

Abah, typical pria sederhana dengan kehidupan yg kompleks. Cukup keras hati dan lumayan keras kepala. Dan kesamaan karakter diantara kami adalah sama-sama besikap “Semaunya”. Hanya saja Abah orangnya cuek, sementara saya ‘terlalu mau tau’.

Cuek.. Ya.., begitulah Abah. Terutama tentang “Tuhan 9 Senti”-nya itu. Istilah panjang dari salah satu benda yang paling saya benci di muka bumi ini. Karena saya murid Taufiq Ismail, makanya saya sebut “Tuhan 9 Senti”, kalau saya murid Chairil Anwar, mungkin saya akan menyebutnya “ROKOK”.

Rasaya sudah lelah saya mengingatkan.. “Bah, ampih pang merokok..!!!” Rasanya sudah ratusan kali kalimat itu saya ulang terus, tapi tetap saja Abah nggak berhenti merokok… Rina anak kandungnya sampai berucap “Biar sampai muntung bebusa Wia ae, kadada Abah tuh me’asi.. Cinta mati wan rokok tuh pang dah sidin.. Harau kita di cueki ja…!!”

Kami berdua tau kondisi paru-paru Abah sudah lumayan gawat. Kadang-kadang saya dan Rina sengaja ‘menyuntan’ (mencuri) “Tuhan 9 Senti”-nya Abah di kantong, tapi tetap aja nggak menyelesaikan masalah karena abis itu Abah beli lagi. “Lalu mauk…”, kata Rina.

Singkat cerita kondisi Abah makin parah pertengahan tahun 2003. Dokter memberi peringatan keras agar Abah berhenti merokok. Ya.., Abah memang sedikit menurut, tapi agaknya sudah terlambat. Oktober 2003 Abah masuk Rumah Sakit, dan akhirnya meninggal dunia 16 November 2003.

Setiap bulan November saya selalu mengenang hari itu, tapi semenjak menginjak bangku kuliah, saya mulai memikirkan orang lain selain Abah. Walaupun case-nya nggak mirip-mirip amat, tapi masalahnya, orangnya itu yang ‘mirip’ Abah. Untung Rina nggak kuliah di Fakultas Hukum. Coz saya takut dia bilang “Napa ada kembaran Abah??” Walau sedikit lebih muda, tapi nggak jauh lebih baik (agaknya).. Tidak lain tidak bukan karena “Tuhan 9 Senti” itu juga. Sempurna sudah… Memandang wajahnya membuatku merasa bernostalgia dan sedikit ketakutan, tapi ketakutan yang sangat beralasan, walaupun alasan itu aneh, tetap saja itu alasan..!!

Saya tau beliau bukan Abah, dan Abah bukan beliau. Setidaknya ke’naif’an saya dimasa lampau sedikit terkikis oleh kesalah-pahaman itu.. Saking perhatian dan ingin diperhatikannya saya, seakan saya “naksir”. Tapi persetan lah.. Setidaknya, saya nggak mau hal yg sama terjadi pada beliau. Beliau memiliki anak dan istri, sama seperti Abah, meski beliau tak punya anak angkat macam saya. Saya tak bisa menjamin apakan tidak merokok akan memperpanjang umur seseorang, tapi paling tidak apapun yang terjadi pada beliau saya tak mau itu disebabkan oleh “Tuhan 9 Senti”.

Lagipula kasihan orang-orang terdekatnya yang terpaksa jadi perokok pasif. Kalau sudah tua sih, mungkin tak apa, tapi anak-anak? Kadang-kadang beliau juga merokok di ruang kuliah, sudah pernah diprotes, tapi minggu depannya lupa lagi..

Saya juga perokok pasif, yang saban hari sejak SD berkecimpung di areal para perokok. Ya, walhasil paru-paru saya kondisinya juga nggak bagus-agus amat. Tentu nggak sebagus teman-teman saya yang hidup di lingkungan bebas asap “Tuhan 9 Senti”. Benar-benar seperti kata Taufiq Ismail…


Tuhan Sembilan Senti
Oleh Taufiq Ismail

Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok,

Di sawah petani merokok,
di pabrik pekerja merokok,
di kantor pegawai merokok,
di kabinet menteri merokok,
di reses parlemen anggota DPR merokok,
di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok, hansip-bintara- perwira nongkrong merokok,

di perkebunan pemetik buah kopi merokok,
di perahu nelayan penjaring ikan merokok,
di pabrik petasan pemilik modalnya merokok,
di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok,

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu- na’im sangat ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,

Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok,
di ruang kepala sekolah…ada guru merokok,
di kampus mahasiswa merokok,
di ruang kuliah DOSEN merokok,
di rapat POMG orang tua murid merokok,
di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya apakah ada buku tuntunan cara merokok,

Di angkot Kijang penumpang merokok,
di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk orang bertanding merokok,
di loket penjualan karcis orang merokok,
di kereta api penuh sesak orang festival merokok,
di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok,
di andong Yogya kusirnya merokok, sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok,

Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa-dewa bagi perokok,
tapi tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok,

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita,

Di pasar orang merokok,
di warung Tegal pengunjung merokok,
di restoran, di toko buku orang merokok,
di kafe di diskotik para pengunjung merokok,

Bercakap-cakap kita jarak setengah meter tak tertahankan asap rokok,
bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun menderita di kamar tidur
ketika melayani para suami yang bau mulut dan hidungnya mirip asbak rokok,

Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul saling
menularkan HIV-AIDS sesamanya,
tapi kita tidak ketularan penyakitnya.
Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya mengepulkan asap rokok
di kantor atau di stopan bus,
kita ketularan penyakitnya.
Nikotin lebih jahat penularannya ketimbang HIV-AIDS,

Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di dunia,
dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu, bisa ketularan kena,

Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok,
di apotik yang antri obat merokok,
di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok,
di ruang tunggu dokter pasien merokok,
dan ada juga dokter-dokter merokok,

Istirahat main tenis orang merokok,
di pinggir lapangan voli orang merokok,
menyandang raket badminton orang merokok,
pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok,
panitia pertandingan balap mobil, pertandingan bulutangkis, turnamen sepakbola
mengemis-ngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok,

Di kamar kecil 12 meter kubik, sambil ‘ek-‘ek orang goblok merokok,
di dalam lift gedung 15 tingkat dengan tak acuh orang goblok merokok,
di ruang sidang ber-AC penuh, dengan cueknya, pakai dasi, orang-orang goblok merokok,

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu- na’im sangat ramah bagi orang perokok,
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,
Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita,

Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh, duduk sejumlah ulama terhormat
merujuk kitab kuning
dan mempersiapkan sejumlah fatwa.
Mereka ulama ahli hisap.
Haasaba, yuhaasibu, hisaaban.
Bukan ahli hisab ilmu falak,
tapi ahli hisap rokok.

Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka terselip berhala-berhala kecil,
sembilan senti panjangnya,
putih warnanya,
kemana-mana dibawa dengan setia,
satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya,

Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang,
tampak kebanyakan mereka memegang rokok dengan tangan kanan,
cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri.
Inikah gerangan pertanda yang terbanyak kelompok ashabul yamiin dan yang
sedikit golongan ashabus syimaal?

Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu.
Mamnu’ut tadkhiin, ya ustadz. Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz.
Kyai, ini ruangan ber-AC penuh.
Haadzihi al ghurfati malii’atun bi mukayyafi al hawwa’i.
Kalau tak tahan, di luar itu sajalah merokok.
Laa taqtuluu anfusakum. Min fadhlik, ya ustadz.
25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?

Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz. Wa yuharrimu ‘alayhimul khabaaith.
Mohon ini direnungkan tenang-tenang, karena pada zaman Rasulullah dahulu,
sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok.

Jadi ini PR untuk para ulama.
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok,
lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan, jangan,

Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini.
Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu,
yaitu ujung rokok mereka.
Kini mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir.
Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap, dan ada yang mulai
terbatuk-batuk,

Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini,
sejak tadi pagi sudah 120 orang di Indonesia mati karena penyakit rokok.
Korban penyakit rokok lebih dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu lintas,

lebih gawat ketimbang bencana banjir, gempa bumi dan longsor,
cuma setingkat di bawah korban narkoba,

Pada saat sajak ini dibacakan, berhala-berhala kecil itu sangat
berkuasa di negara kita,
jutaan jumlahnya,
bersembunyi di dalam kantong baju dan celana,
dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna,
diiklankan dengan indah dan cerdasnya,

Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri,
tidak perlu ruku’ dan sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini,
karena orang akan khusyuk dan fana dalam nikmat lewat upacara menyalakan
api dan sesajen asap tuhan-tuhan ini,

Rabbana, beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.

Amin Yaa Rabbalalamin.


* To Sir.Faishal, semoga tak ada kata terlambat…

(Puisi ini juga saya dedikasikan untuk Bung Detra Vallis, dan kawan-kawan lain yang lebih mencintai rokok daripada istrinya.. Kapan bertobat bung??? Syukurlah Sir.Aryasutha bukan seorang perokok, sehingga tak perlu saya pertimbangkan untuk bercerai 😀 )

3 respons untuk ‘AKU, DIA, DAN “TUHAN 9 SENTI”

  1. Waduh.. langsung menohok nama saya bu’ 😀
    Wekekeke..
    hmm.. gimana ya? saya juga bingung sebenarnya.
    mau sih berhenti merokok,tapi sulit 😥

    Wia said : “Ah… Lucu kalau seorang Detra Vallis dikalahkan oleh batangan 9 cm itu…. Ayolah bang, kau pasti bisa.. 😉 “

  2. aku termasuk orang yang sangat bersedih karna benda laknat itu, hampir seluruk kakak berdikku laki2 dan semua ngga ada satu pun yang perokok, kecuali ayah…dia merokok karna di sebabkan aku,,, aku kecil sering sakit2an dan ayah harus sering pula menjaga ku di rmh sakit dan karna seringnya begadang menjaga ku ia mulai berkenalan dengan yang namanya “rokok”
    aku da berupaya tuk membuatnya berhenti tapi… belum berhasil..

    Wia said : “Jangan pernah berhenti untuk berusaha.. Sebelum terlambat, semaksimal mungkin kita upayakan hidup sehat tanpa rokok.. Demi orang2 terkasih, demi umat, dan kehidupan yg lebih baik.. Kita harus sadar dan menyadarkan, sebelum kehilangan… Semangat ya!! 🙂 “

  3. sastrawan ya bu? wah, kalau saya mungkin lebih senang dengan subagio sastrowardoyo maupun sutan takdir alisjahbana…

    Wia said : Ah…, bukan kok.. Saya bukan sastrawan.. Tapi suka sastra sih iya 😀
    Dalam sastra itu ada idealismenya juga mas, kebetulan yg klop sama saya itu Pak Taufiq Ismail.. 🙂 “

Tinggalkan komentar